Bijak Bersikap dan Bertutur Kata

Sumpah-serapah dan caci-maki terlalu sering kita dengar, baik secara langsung mapun melalui tv, video atau tulisan dalam media sosial. Orang berani bicara, meski tak berbekal kebenaran apalagi data yang terpercarya. Orang berani, bahkan percaya diri melabrag orang lain meski tak berbekal ilmu dan logika yang baik. Video dipenuhi suara tak pantas, tulisan (di media sosial) dipadati kata-kata keji dan kotor.
Sekadar contoh, bagaimana ada seorang ustad yang rekam jejaknya sangat terpercaya, tak pernah bermasalah dengan hukum, kepribadiannya tidak bersebrangan dengan norma masyarakat, namun disudutkan dengan prilaku dan kata-kata yang sangat melukai. Bisa dibayangkan, seandainya persitiwa tersebut berbuntut pada saling membalas, bagaimana nasib masyarakat dan bangsa ini. Lalu, di mana kita tempatkan kalimat yang menjadi kesepakatan bersama, “Kemanusiaan yang adil dan beradab?” Bukankan sila kedua Pancasila itu menjadi pijakan dalam berbicara dan menyelesaikan persoalan? Tapi, mengapa kata-kata yang bertentangan dengan nilai kemanusiaan dan nilai adab terus meluncur deras tak terbendung?
Kebaikan atau kebenaran ucapan seseorang tidak ditentukan oleh kesamaan parpol, dukungan, faham, dan sejenisnya dengan kita. Kebenaran bisa diuji dengan norma yang berlaku dimasyarakat dan agama yang dianutnya. Pun demikian, kesalahan dan kejelekan ucapan seseorang juga bukan karena ia berbeda parpol, dukungan, faham, dan sejenisnya dengan kita. Kesalahan dapat dideteksi dengan perangkat norma yang mengitarinya dan agama yang dianutnya. Aneh dan tidak logis, jika ada sekelompok orang yang mengaku baik sementara ia dengan mudah menilai orang lain jelek. Juga aneh dan tidak logis, andai ada sekelompok orang yang merasa paling mendukung NKRI, sementara ucapan dan kata-katanya menjurus pada perpecahan karena melukai orang lain dengan memvonis anti-NKRI.
Kebaikan atau kebenaran, meski tidak dicitrakan (dipublikasikan), seiring dengan perjalanan waktu, orang akan mengerti dan menyaksikan akan kebenaran tersebut. Maka, untuk apa seseorang mengaku-ngaku paling benar dan menuduh orang bersalah, sementara tidak ada bukti yang menguatkan. Kesalahan dan keburukan, meski ditutup rapat, dilindungi dengan sistem sehebat apapun, pada saatnya, waktu akan membuktikan bahwa kesalahan itu akan terkuak.
Kembalilah pada kebanggaan dan keluhuran kita sebagai bangsa yang menjunjung tinggi adab. Ungkapkan setiap ada perbedaan dengan kata bijak, tanpa harus menggores perasaan orang lain. Sampai pada titik ini, sungguh tidak akan terjadi benturan, dan keharmonisan hidup berbangsa dan bernegara akan dapat kita rasakan.
Kita tidak pernah mendengar atau membaca saling caci di antara pendiri negeri ini. Para pahlawan yang namanya berjajar di buku-buku sejarah, di keping-keping prasasti, tidak pernah meluapkan ketidakcocokan dengan cara sumpah-serapah. Pangeran Diponegoro, Teuku Umar, Imam Bonjol, Patimura, Jendral Sudirman, dan para pahlawan yang lain adalah orang-orang yang rendah hati. Di antara mereka, tak pernah terpikir untuk saling rebut pengaruh agar lebih populer. Bukan karena saat itu belum ada media sosial. Bukan karena saat itu tidak ada perbedaan. Mereka bisa mengendalikan diri karena mereka adalah orang-orang dewasa, orang-orang yang sudah selesai dengan dirinya. Karena itulah, hidupnya dipenuhi dengan agenda-agenda berkualitas, upaya maksimal demi mewujudkan Indonesia merdeka. Kalau kita tidak bisa total seperti mereka, minimal kita bisa meniru mereka dalam hal bertutur kata, yaitu santun penuh etika.
Sidareja, 12 Desember 2017
Share This Post To :
Kembali ke Atas
Artikel Lainnya :
- MEYAKINI ADANYA TUHAN
- Kiat Sukses Ujian Nasional Berbasis Komputer UNBK 2019
- MEKARNYA CINTA
- Bahagia Itu Adalah .....
- Bukti Cinta
Silahkan Isi Komentar dari tulisan artikel diatas :
Komentar :
![]() ![]() Mari kita berisaha menjadi orang yang santun dan bijak dalam setiap langkah alambkehidupan kita. |
Kembali ke Atas