Penanaman Karakter Setengah Hati

Ahmad Budi Cahyono, Guru SMAN 1 Torjun di Sampang, meninggal setelah tindak kekerasan yang dilakukan oleh muridnya. Masyarakat bukan hanya tersentak dan kaget, tetapi juga mengutuk tindakan barbar tersebut . Dua pihak yang seharusnya memiliki hubungan emosional yang kuat, bahkan semestinya saling mendoakan dalam kebaikan, harus ada yang meregang nyawa karena ulah anak yang tidak mampu lagi mengontrol akal sehatnya. Semua orang menyayangkan mengapa tindak kekerasan itu terjadi di lingkungan tempat mengajarkan dan menjunjung tinggi karakter atau kepribadian.
Peristiwa tindak kekerasan yang dilakukan siswa terhadap guru atau siswa terhadap siswa yang lain sudah berulang kali terjadi di masyarakat kita. Setelah ada peristiwa, banyak pihak merasa kecolongan lalu berbagai diskusi atau seminar diadakan. Beberapa stasiun televisi mengundang pakar untuk ikut ambil peduli menyikapi masalah yang ada. Bahkan, kebijakan menyikapi persitiwa memalukan itu pun dirancang dan dilaksanakan, meski ujung-ujungnya tak menjawab persoalan karena kebijakan yang digagas tersebut bersifat parsial dan sekadar di atas kertas semata.
Istilah Pendidikan Karakter yang beberapa tahun terakhir ini dilaksanakan misalnya, ternyata sulit disimpulkan sebagai sebuah program yang berhasil. Kenakalan anak usia sekolah belum berkurang. Tawuran masih sering terjadi di sudut-sudut kota besar. Ritual akhir tahun pelajaran berupa konvoi dan corat-coret untuk merayakan kelulusan menghiasi berita semua televisi nasional. Bahkan, kegiatan tak intelek dan memalukan ini merambah ke kampung-kampung. Bagaimana mengurai persoalan ini?
Karakter atau keperibadian seseorang tidak bisa dibentuk sesaat, tidak bisa dibebankan sepihak, dan tidak hanya berdiri sendiri. Dengan kebijakan barunya, guru mengubah dan menyisipkan kalimat yang di dalamnya terdapat kata karakter pada Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang tentu berdampak pada pembelajaran dan kebijakan sekolah. Selesaikah persoalan tersebut, sehingga ada perubahan signifikan pada kepribadian anak ke arah yang lebih baik? Jawabannya adalah tidak karena belum diikuti kebijakan yang tersitem dalam lingkup kehidupan yang lebih kompleks.
Banyak hal yang mengitari dan memengaruhi prilaku anak yang sampai sekarang belum “dipaksa” untuk mengikuti pembentukan karaktaer sehingga pembentukan karaktaer tidak setengah hati.
Alangkah bijaknya jika kita renungka bersama. Saling serang kata-kata, bahkan saling caci antarperson, antaranggota organisasi, di media sosial dengan mudah terakses oleh anak-anak. Coba, andai kita semua menyadari ini, sehingga istilah hoak dan pencemaran nama baik bukan sekadar sarana untuk menyerang lawan politik, namun benar-benar kita tinggalkan. Bukankah sekecil apapun ini akan berpengaruh pada kepribadian anak?
Tayangan televisi pada jam-jam anak belajar di rumah banyak yang tidak mendidik. Padahal sangat mungkin ada regulasi yang mengatur secara lebih ketat sehingga dua sasaran dapat tercapai sekaligus, yaitu anak nyaman belajar dan anak lebih mudah diarahkan. Mestinya, selama televisi belum ideal sesuai harapan kita, orang tua harus ketat mengarahkan dan mendampingi anak memanfaatkan benda bersuara dan bergambar tersebut.
Orang tua dan orang-orang terdekat harus bisa menjadi teladan. Banyak anak menyaksikan tindak kekerasan dalam keluarga yang dilakukan orang tua mereka. Tidak sedikit orang tua menyuruh anaknya belajar sementara ia asik memegang remot televisi sambil menikmati sinetron. Di sekolah, siswa dilarang merokok sementara ada sebagian guru yang masih merokok di lingkungan sekolah, termasuk di rumah anak-anak banyak menyaksikan orang tuanya merokok. Bahkan, untuk masalah rokok ada yang lucu dan janggal, “Merokok Membunuhmu”, sementara iklan rokok ada di mana-mana.
Ada ikhtiar yang sesunggu tidak boleh diabaikan, yaitu perkenalkan anak dengan serius terhadap agama (Islam). Kesalahan yang selama ini banyak terjadi adalah agama sebagai ritual, sementara porsi akhlak, sosial, keteladanan hanya diberi ruang yang sangat sedikit. Kepada para ayah dan bunda, lantunkan ayat-ayat suci Al Qur’an –setidaknya sekali dalam sehari, misalnya usai sholat maghrib- maka lama-lama anak akan mengikutinya. Jika semua pihak –orang tua, sekolah, masyarakat- sudah memberikan keteladanan yang baik, baru kita bisa berpuas mengatakan “pendidikan karakter sepenuh hati”. Kita bisa menunggu hasilnya, Indonesia yang berperadaban tanpa kekerasan.
Sidareja, 7 Februari 2018
Share This Post To :
Kembali ke Atas
Artikel Lainnya :
- MEYAKINI ADANYA TUHAN
- Kiat Sukses Ujian Nasional Berbasis Komputer UNBK 2019
- MEKARNYA CINTA
- Bahagia Itu Adalah .....
- Bukti Cinta
Silahkan Isi Komentar dari tulisan artikel diatas :
Komentar :
![]() ![]() Isi yang berbobot......Butuh konsentrasi tinggi untuk menulis seperti ini mas....... Keterkaitan antar paragraf yang runtut ....... |
Kembali ke Atas