Kalau cinta harus selalu mengawali ikatan sakral sebuah pernikahan, tentu Fahri dan Aisyah tidak akan bahagia mengarungi bahtera rumah tangga.

Mereka sepekat bersatu dalam pernikahan sementara belum saling mengenal, apalagi saling mencintai.

Fahri dan Aisyah bahagia. Mekarnya cinta Fahri dan Aisyah karena terlahir dari rasa tanggung jawab dan pengertian setelah mereka menikah. Justru cinta model inilah yang tidak mudah lapuk oleh panas dan bahkan triknya kehidupan.

Cinta yang terlahir dari saling pengertian, terbukti lebih kokoh dan handal mengarungi zaman.

Setidaknya, melalui tokoh Fahri dan Aisyah, pesan moral inilah yang hendak disodorkan Habiburrahman El Shirazy dalam novel Ayat-Ayat Cinta.

Kita juga bisa belajar dari orang tua dan kakek-nenek tercinta. Karena saling pengertian dan kuatnya tanggung jawab, dalam kesederhanaan, bahtera hidup mereka bisa bertahan sampai akhir usia.

Kepada anak-anakku, jemputlah sukses dan berkah masa depanmu dengan ibadah dan kesungguhan.

Tinggalkan pacaran. Biarkan cintamu mekar pada saatnya. Belajarlah dari gigihnya Fahri mengisi masa mudanya, meski itu hanya tokoh sebuah fiksi.