Impian Besar Seorang Pendidik
Dalam sebuah pertemuan dengan Komisi III DPR RI, Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly menyampaikan bahwa banyak rutan (rumah tahanan) di Indonesia yang melebihi kapasitas. Misalnya, Rutan Medan yang berkapasitas 1000 orang diisi 3500 orang. Menteri juga menambahkan bahwa dana yang dibutuhkan untuk makan para napi 1 bulan mencapai 1 triliun rupiah. Penambahan napi tahun ini mencapai 23 ribu orang (Detik Com, 12 April 2016).
Kita tidak akan membedah informasi yang disampaikan Pak Menteri di atas. Namun, setidaknya data di atas bisa dijadikan pijakan untuk meluapkan kegundahan kita sebagai pendidik merespon persoalan sosial di tengah kehidupan bermasyarakat. Intinya, jumlah dan persentase tindak kriminal di negeri ini tidak semakin berkurang, justru terus bertambah. Apa dan siapa yang salah atas persoalan ini? Tidak perlu dijawab secara verbal, karena jawaban itu hanya akan berbuntut pada vonis salah pada pihak tertentu yang belum tentu tepat.
Apapun kurikulumnya, mimpi besar dunia pendidikan selalu sama: mengantarkan peserta didik –lebih luas masyarakat- pada kehidupan berkualitas. Pendidikan setidaknya selalu mengarah pada sentuhan tiga ranah: pengetahuan, kemampuan praktik, dan kebaikan sikap. Meskipun istilah pengetahuan, praktik, dan sikap baru santer sepuluh tahun terakhir, namun sesungguhnya penggagas dan pelopor pendidikan di Indonesia, Ki Hajar Dewantoro, konsep dan idenya sudah menjangkau ke arah sana. Petuah Ki Hajar, “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani – ‘di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat dan di belakang memberikan daya kekuatan’, adalah implementasi dari keteladanan yang menjangkau tiga ranah tersebut.
Konsep dan ide yang digagas oleh tokoh pendidikan dan dirancang dalam bentuk kurikulum oleh pemerintah sekarang maupun pemerintah sebelumnya tidak ada yang keliru. Namun yang menjadi pertanyaan adalah mengapa tingginya pendidikan tidak berbanding terbalik dengan kerusakan sosial akhir-akhir ini? Jika kita fokus pada aspek sikap, seharusnya pendidikan mampu mengarahkan orang pada budi perilaku yang berkualitas. Orang-orang yang terlibat kasus kriminal –pencurian, korupsi, narkoba, pembunuhan dll- adalah orang-orang yang pada saat melakukan kejahatan tersebut budi dan perilakunya bernilai jauh di bawah ketuntasan. Bukankah sebagian besar di antara mereka yang melakukan kejahatan adalah orang-orang yang menghabiskan waktu puluhan tahun di ruang kelas –sekolah. Mengherankan!
Impian besar kita sebagai pendidik adalah semakin jauh kita meninggalkan Tahun 1945 -garis start tanda dimulainya secara formal Indonesia sebagai sebuah negara- semakin tertata rapi tata kelola untuk semua urusan. Terlebih menyangkut kesadaran warga dalam tindak-tanduk, sopan-santun, unggah-ungguh, seharusnya sudah teratasi agar kita bisa memacu diri mengejar ketertinggalan dari bangsa-bangsa lain. Alih-alih keinginan itu terwujud, negeri yang dipenuhi keringat, air mata, dan darah para pahlawan untuk memerdekakannya, justru dijejali PR yang kian hari kian menumpuk.
Sebagai pendidik kita mempunyai impian besar. Kalau ekonomi masyarakat belum tumbuh seperti yang diharapkan itu sebuah kekurangan, namun kita maklum. Jika olahraga kita belum mampu bersaing dengan negara-negara yang usia kemerdekannya berhitung jari itu pun kekurangan, tetapi dengan wajah tertunduk karena malu, kita pun maklum. Namun, apa yang dapat kita pertanggungjawabkan pada para pendiri negeri ini jika kita terus disibukan dengan tingginya angka kejahatan, saling menghujat, maraknya korupsi?
Kepada semua pihak –rakyat, pemimpin, politisi, pengurus organisasi, pengurus partai, pemuka agama- sehebat apapun kami, para pendidik tidak mungkin mampu mencetak anak bangsa menjadi orang-orang beradab tanpa dukungan banyak pihak. Hidup seorang anak berurusan dengan 24 jam sehari semalam. Para pendidik hanya memanfaatkan tidak lebih dari sepertiganya. Tugas mengantar orang menjadi berperadaban adalah tugas yang terlampau berat, kecuali semua pihak ikut serta memikulnya.
Impian besar seorang pendidik adalah menyaksikan keadaan hari-hari yang akan datang selalu lebih baik. Hanya itu.
* Penulis adalah:
Guru Bahasa Indonesia pada SMAN 1 Cipari, Cilacap
Pendiri dan Pembina Yayaysan Titian Robbani Cilacap
Share This Post To :
Kembali ke Atas
Artikel Lainnya :
- KEBUGARAN JASMANI
- TERNYATA, MATEMATIKA ITU TAK MENAKUTKAN
- Belajar Sejarah itu menumbuhkan cinta, cinta peserta didik terhadap tanah air
- Belajar Sejarah itu menumbuhkan cinta, cinta peserta didik terhadap tanah air
- Kiat Sukses Ujian Nasional Berbasis Komputer UNBK 2019
Kembali ke Atas